Kenapa harus menyaksikan orang lain untuk bisa tetawa. Kenapa kamu tidak menertawakan dirimu sendiri. Kenapa pula aku harus berbicara pada dirimu. Barang kali kita bisa menertawakan diri kita sama-sama. Meskipun antara aku dan kamu jauh sekali bedanya. Mungkin kamu lebih soleh. Tapi yang soleh justru paling serng menertawakan dirinya.
Alu sangat sadar aku ini sangat lucu tapi kelucuanku lebih banyak membuat orang kesal. Karena mungkin bicaraku asal bunyi, langkahku asal pergi, dudukku asal saja, pikiranku melayang saja, dan perbuatanku tanpa tujuan, bahakn sikapku banyak menyakiti orang.
Itu aku, bagaimana dengan kamu?
Bila itu yang terjadi pada diriku maka memang sehrusny aku tertawa geram bukan tertawa senang dan bahagia. Karena yang telah aku lakukan adalah komedi yang tidak berarti. Kenap? Anda tahu jawabannya? Aku sudah tahu jawabannya. Kaea yang kulakukan tidak mengundang simpati bahkan menarik murka Tuhanku.
Kini aku rasalan dan sangat aku sadari aku berada dalam kondisi komedi kritis dan aku harus menontonnya denan miris. Komedi terlucu ini harus membuat aku marah dengan diriku sendiri. Aku harus mendakwanya, aku harus menghakiminya, aku harus menasihatinya, aku memberikan fatwa padanya, dan aku menagis karena tingkahnya.
Sungguh lucu aku diciptakan dengan ful ni'mat Allah. Banyak hal yang telah diberikanNya kepadaku sebelum aku mengerti apa artinya doa, harapan, dan permintaan. Bahkan hingga saat aku durhaka ni'mat itu Allah terus-menerus berikan untuk mengingatkanku.
Berbaik sangk akan perbuatan Allah adalah jalan terbaik yang harus aku pilih. Tapi kini aku terperanjat dengan perbuatanku yang lali dengan syukur padanNya. Tidak kah nikmat ini akan dicabut seketika tanpa diberi tahu sebelumnya tanpa aba-aba dan komando untuk bersiap.
Hanya aku yang bodoh saja yang tidak paham. Bahwa nikmat selalu membawa dua sisi yang akan selalu bersamaan. Pertama sikap yang harus aku ambil adalah mensyukurinya. Dan sikap yang kedua adalah waspada serta bertaubat atas pengunaannya yang tidak selaras dan sejalan.