Assalamu'alaikum Wr.Wb..
Terima kasih telah mau mampir lihat-lihat blog yang tidak sempurna ini. Bila anda mendapatkan manfaat dari dari sini, maka saya do'akan semoga kebaikannya sampai kepada orang lain melalui sharing anda di media lain. Namun bila sama sejkali tidak ada manfaatnya semoga Allah melindungi diri anda dari mengikuti yang tidak benar, dan Allah berkenan menunjukkan saya jalan lurus pada hati, pikiran, dan tulisan saya.
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang "pengajar Al-Qur'an", ia menyebutnya begitu. Karena konon katanya antara kata "guru", "pendidik", "pelatih", dan pengajar ada perbedaan. Maka kata "pengajar" lebih ia sukai. Alasannya bisa ditemukan pada baris-baris kata berikutnya dalam tulisan ini.
Suatu hari "sang pengajar Al-Qur'an" sempat bertanya-tanya dalam hatinya. Begitu yang ia ceritakan kepadaku. Di tempatnya mengajar ia mendapati bahwa anak-anak yang diajarinya Al-Qur'an "tampaknya" menunjukkan gelagat "tidak semangat.
Indikasinya sangt tampak. Mata sayu dan cenderung mengantuk. Suasana kelas menjadi terasa tidak nyaman. Pandangan para murid yang diajarinya Al-Qur'an seperti menyuruhnya untuk segera keluar dari ruangan itu.
Di saat yang lain ia menemukan anak-anak yang tadi belajar Al-Qur'an besamanya tampak sangat bergairah saat pelajaran yang lain. Mereka rela panas-panasan di bawah terik matahari yang menggosongkan kulit bersih mereka. Mereka tertawa, berlari, dan mata mereka begitu berbinar. Tidak ada kantuk dan lelah mereka melakukannya.
Suara alunan musik dengan tempo cepat sangat mereka senangi. Dengan serta merta mereka langsung berjingkrak dan melompat dan tertawa lebar. Mereka ajak kawannya untuk bergerak bersamanya. Bila ada yang malas tidak segan mereka meraih tangan kawannya agar kembali semangat.
Sampai disini "sang pengajar" berfikir. Alangkah indahnya bila semangat belajar itu ditunjukkan saat mempelajari dan mengamalkan Al-Qur'an. Harapan dan keinginan yang bagus.
"Sang Pengajar" terus saja mencari jawaban atas perbedaan dua kondisi yang dilihatnya. Kenapa bisa demikian kontras sekali perbedaannya. pakah belajar Al-Qur'an juga harus pake lari-lari di bawah teriknya cahaya mentari? Apakah belajar Al-Qur'an juga harus memakai musik pengiring.
Lalu metode apakah yang harus dicoba saat mengajarkan Al-Qur'an? "Sang Pengajar" sangat berharap antusiasme itu tumbuh dari dalam jiwa generasi muslim yang ia harapkan. Cahaya Islam yang terang ia ingin ia tampakkan pada semangat juang yang memancar dari mata para murid yang belajar bersamnya.
"Sang pengajar" terus mencari-cari jawaban. Ia mulai terperanjat saat menelaah sejarah Rasulullah yang dipelajarinya. Ia begitu terpesona dengan Rasulullah dan perihidup yang dijalaninya.
Ia terperanjat. Dan ia bergumam "bukankah Rasulullah mengajarkan Al-Qur'an tidak mesti harus sambil melakukan permainan-permainan?". "Bukankah saat diajari dan diilhami wahyu beliau tertunduk khusyu dan berkeringat?." "Bukankah orang-orang yang mendengarkan Al-Qur'an tertunduk khusyu bahkan sampai sujud." "Bukankah riwayat shahih mengatakan orang-orang musyrikin juga ikut bersujud dengan Nabi saat nabi diberikan wahyu ayat-ayat sajdah."
"sang Pengajar" semakin dalam merenung. "Bila saja orang yang memusuhi Nabi dan agamanya tertunduk dan terpesona dengan Al-Qur'an, mengapa Al-Qur'an yang sama tidak membuat para murid yang diajarinya menjadi terpesona dan khusyu?"
Sampai di sini "sang pengajar" menitikkan air mata. "Saya tahu sekarang, jauh perbedaaan antara diriku dan diri seorang Nabi." begitu ia bergumam. Jaawaban itu ang ia dapatkan.
Terkilas dalam ingatnnya, bahwa seorang yang berjiwa bersih dan kuat akan mempengaruhi jiwa lain hingga sama dalam getarannya. Pantas saja seorang ulama yang lumpuh, buta, dan lemah mampu membuat para muridnya tidak tidur semalaman karena melakukan tahajjud setelah mendengar penjelasan tentang tahajjud darinya. Kata-katanya sedikit namun pengaruhnya sangat besar.
"Sang Pengajar" bangkit dan ia berujar, "meskipun perjuangan ini baru dimulai dan belum menampakkan hasil, namun ia akan tetap berjuang menjaga dan mewariskan warisan agung Nabi dan Rasul terakhir.
Dalam hati "sang pengajar" sadar bahwa ia memang baru sampai pada tahap "mengajar" bukan mendidik. Ia sadari apa yang diajarkan, dibacakan, dan diucapkan masih belum sama dengan perbuatan dan tingka lakunya sehari-hari..
Catatan ini masih terus berlanjut. Sumbang saran dari para pembaca sangat diharapkan. Semoga Allah menunjukkan kita kehidupan yang baik dibawah naungan Al-Qur'an dan Assunnah. Amn
Terima kasih telah mau mampir lihat-lihat blog yang tidak sempurna ini. Bila anda mendapatkan manfaat dari dari sini, maka saya do'akan semoga kebaikannya sampai kepada orang lain melalui sharing anda di media lain. Namun bila sama sejkali tidak ada manfaatnya semoga Allah melindungi diri anda dari mengikuti yang tidak benar, dan Allah berkenan menunjukkan saya jalan lurus pada hati, pikiran, dan tulisan saya.
Kali ini saya akan bercerita tentang seorang "pengajar Al-Qur'an", ia menyebutnya begitu. Karena konon katanya antara kata "guru", "pendidik", "pelatih", dan pengajar ada perbedaan. Maka kata "pengajar" lebih ia sukai. Alasannya bisa ditemukan pada baris-baris kata berikutnya dalam tulisan ini.
Suatu hari "sang pengajar Al-Qur'an" sempat bertanya-tanya dalam hatinya. Begitu yang ia ceritakan kepadaku. Di tempatnya mengajar ia mendapati bahwa anak-anak yang diajarinya Al-Qur'an "tampaknya" menunjukkan gelagat "tidak semangat.
Indikasinya sangt tampak. Mata sayu dan cenderung mengantuk. Suasana kelas menjadi terasa tidak nyaman. Pandangan para murid yang diajarinya Al-Qur'an seperti menyuruhnya untuk segera keluar dari ruangan itu.
Di saat yang lain ia menemukan anak-anak yang tadi belajar Al-Qur'an besamanya tampak sangat bergairah saat pelajaran yang lain. Mereka rela panas-panasan di bawah terik matahari yang menggosongkan kulit bersih mereka. Mereka tertawa, berlari, dan mata mereka begitu berbinar. Tidak ada kantuk dan lelah mereka melakukannya.
Suara alunan musik dengan tempo cepat sangat mereka senangi. Dengan serta merta mereka langsung berjingkrak dan melompat dan tertawa lebar. Mereka ajak kawannya untuk bergerak bersamanya. Bila ada yang malas tidak segan mereka meraih tangan kawannya agar kembali semangat.
Sampai disini "sang pengajar" berfikir. Alangkah indahnya bila semangat belajar itu ditunjukkan saat mempelajari dan mengamalkan Al-Qur'an. Harapan dan keinginan yang bagus.
"Sang Pengajar" terus saja mencari jawaban atas perbedaan dua kondisi yang dilihatnya. Kenapa bisa demikian kontras sekali perbedaannya. pakah belajar Al-Qur'an juga harus pake lari-lari di bawah teriknya cahaya mentari? Apakah belajar Al-Qur'an juga harus memakai musik pengiring.
Lalu metode apakah yang harus dicoba saat mengajarkan Al-Qur'an? "Sang Pengajar" sangat berharap antusiasme itu tumbuh dari dalam jiwa generasi muslim yang ia harapkan. Cahaya Islam yang terang ia ingin ia tampakkan pada semangat juang yang memancar dari mata para murid yang belajar bersamnya.
"Sang pengajar" terus mencari-cari jawaban. Ia mulai terperanjat saat menelaah sejarah Rasulullah yang dipelajarinya. Ia begitu terpesona dengan Rasulullah dan perihidup yang dijalaninya.
Ia terperanjat. Dan ia bergumam "bukankah Rasulullah mengajarkan Al-Qur'an tidak mesti harus sambil melakukan permainan-permainan?". "Bukankah saat diajari dan diilhami wahyu beliau tertunduk khusyu dan berkeringat?." "Bukankah orang-orang yang mendengarkan Al-Qur'an tertunduk khusyu bahkan sampai sujud." "Bukankah riwayat shahih mengatakan orang-orang musyrikin juga ikut bersujud dengan Nabi saat nabi diberikan wahyu ayat-ayat sajdah."
"sang Pengajar" semakin dalam merenung. "Bila saja orang yang memusuhi Nabi dan agamanya tertunduk dan terpesona dengan Al-Qur'an, mengapa Al-Qur'an yang sama tidak membuat para murid yang diajarinya menjadi terpesona dan khusyu?"
Sampai di sini "sang pengajar" menitikkan air mata. "Saya tahu sekarang, jauh perbedaaan antara diriku dan diri seorang Nabi." begitu ia bergumam. Jaawaban itu ang ia dapatkan.
Terkilas dalam ingatnnya, bahwa seorang yang berjiwa bersih dan kuat akan mempengaruhi jiwa lain hingga sama dalam getarannya. Pantas saja seorang ulama yang lumpuh, buta, dan lemah mampu membuat para muridnya tidak tidur semalaman karena melakukan tahajjud setelah mendengar penjelasan tentang tahajjud darinya. Kata-katanya sedikit namun pengaruhnya sangat besar.
"Sang Pengajar" bangkit dan ia berujar, "meskipun perjuangan ini baru dimulai dan belum menampakkan hasil, namun ia akan tetap berjuang menjaga dan mewariskan warisan agung Nabi dan Rasul terakhir.
Dalam hati "sang pengajar" sadar bahwa ia memang baru sampai pada tahap "mengajar" bukan mendidik. Ia sadari apa yang diajarkan, dibacakan, dan diucapkan masih belum sama dengan perbuatan dan tingka lakunya sehari-hari..
Catatan ini masih terus berlanjut. Sumbang saran dari para pembaca sangat diharapkan. Semoga Allah menunjukkan kita kehidupan yang baik dibawah naungan Al-Qur'an dan Assunnah. Amn