-->

Cara Tepat Menempatkan Rasa Malu

Seorang budayawan terkenal asal Indonesia menulis dalam salah satu bukunya. Kurang lebih beliau menyatakan bahwa kita telah kehilangan rasa malu. Begitu sangat pentingnya rasa malu ini dikelola dengan baik agar ia menumbuhkan pribadi yang sejalan dengan fitrahnya.

Malu adalah fitrah yang Allah tempatkan dalam setiap pribadi. Selalu saja rasa ini ditempatkan kepada manusia. Setelah ia mulai sadar akan dirinya maka ia pun dengan sadar bahawa ada satu perasaan malu dalam hati.

Beberapa tahun ini kita telah banayak dikejutkan oleh beberapa peristiwa yang menyiratkan bahwa telah hancurnya benteng kuat dalam diri manusia yang menyebabakan ia jatuh dalam kehinaan.

Bila boleh kita sebutkan sebagian contohnya adalah banayaknya kasus korupsi yang sudah terungkap di negeri ini. Para pemimpin yang harus meneladani akhlaq dan melindungi rakyat ternyata menjadi serigala yang paling ganas hingga tega memakan hak dan merampas milik rakyatnya sendiri. Bila pemimpin ibarat ayah dan rakyat ibarat anaknya, maka pemimpin yang korup itu bagaikan ayah yang memakan harta anaknya. Atau pun bila kita balik logikanya, bila pemimpin sebagai anak dan rakyat sebagai ayah atau ibunya, maka pemimpin korup adalah bagaikan anak yang durhaka kepada ibunya atau ayahnya.

Menempatkan Malu yang Salah

Di persimpangan yang lain ternyata ada juga yang salah menempatkan rasa rasa malu. Bila contoh di atas seperti menghilangkan rasa malu atau setidaknya mengenyampingkan atau mengecilkan rasa malu itu, kalau sekarang banyak juga kita temua yang punya rasa malu namun salah pula menempatkannya, lebih tepat ia bersikap minder yang menanadai kerapuhan jiwa.

Tanya jawab Rasulullah Dengan Para Sahabat
Tentang Malu

Agar kita lebih jelas dan tepat dalam menempatkan rasa malu itu, maka mari kita simak perbincangan Rasulullah saw dengan para sahabatnya yang terkasih.

كُلُّكُمْ يُحِبُّ أَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ؟ قَالُوْا نَعَمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ، قَالَ أَقْصِرُوْا مِنَ الأَمَلِ وَأَثْبِتُوْا آجَالَكُمْ بَينَ أَبْصَارِكُمْ وَاسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ، قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ كُلُّنَا نَسْتَحْيِى مِنَ اللهِ، قَالَ لَيْسَ كَذَالِكَ الْجحَيَاءُ مِنَ اللهِ وَلكِن الْحَيَاءُ مِنَ اللهِ أَنْ لاَ تَنْسَوُا الْمَقَابِرَ وَالبِلى وَأَنْ لاَ تَنْسَوُا الْجَوْفَ وَمَا وَعَى وَأَنْ لاَ تَنْسَوُا الرَأْسَ وَمَا حَوَى وَمَنْ اشْتَهَى كَرَامَةَ الآخِرَةِ يَدَعُ زِيْنَةَ الدُّنْيَ هُنَالِكَ اسْتَحَى الْعَبْدُ مِنَ اللهِ وَهُنَالِكَ أَصَابَ وَلاَيَةَ اللهِ.

Artinya;
“Apakah kalian semua ingin masuk sorga ?” Para sahabat menjawab; “Ingin, Ya Rasulallah.” Beliau bersabda; “kalau begitu, pendekkanlah angan-angan kalian; jadikanlah kematian selalu terbayang di depan mata kalian; dan malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab; “ya Rasulallah, semua di antara kami merasa malu kepada Allah.” Beliau lantas bersabda; “bukan begitu caranya malu kepada Allah, tetapi malu kepada Allah itu adalah kalian tidak melupakan kubur dan kehancuran tubuh kalia, tidak melupakan perut serta mewaspadai apa yang dimasukkan ke dalam perut, dan tidak mengabaikan kepala serta anggota lain yang menempel padanya. Barang siapa ingin kemuliaan di akhirat tentu dia harus meninggalkan kesenangan duniawi. Di sanalah letaknya malu manusia kepada Allah dan di sana pula dia akan menemukan keridhaan Allah. (HR Abu Nu’aim)

Demikianlah tuntunan dari Rasulullah saw. Untuk berkebaikan maka jangan malu-malu, ewuh pakewuh, minderan dan sebagainya. Hendaknya kita saling berlomba dalam kebaikan. Tolong menolong dalam kebaikan tan taqwa adalah salah satu cara yang dapat kita tempuha dalam melaksanakan amal-amal di dunia ini.

Rasa malu benar-benar anugerah yang paling besar setelah iman. Ini merupakan bagian paling ampuh untuk mengendalikan manusia. Dibandingkan dengan takut maka malu lebih dahsyat dalam membentuk manusia yang istimewa.

LihatTutupKomentar