Saya ingin cerita pengalaman waktu kecil dulu. Alhamdulillah kenangan itu masih tersimpan rapi dalam ingatan. Saya tidak mau menyia-nyiakannya hanya sebagai sebuah kisah yang tidak berguna. Sengaja saya bagikan agar bisa menjadi kebaikan.
Seorang paman saya yang dianggap cukup kaya di kampungku saat itu memiliki kebiasaan yang cukup aneh. Begitu penilaian saya saat itu.
Ia akan membeli apapun dari pedagang-pedagang yang datang menjajakan dagangannya ke teras rumahnya. Biasanya mereka adalah orang-orang kecil dengan ekonomi yang lemah. Saya tidak memiliki kata-kata seperti itu dulu. Yang saya pahami adalah mereka yang berdagang itu adalah orang-orang yang membutuhkan bantuan dan santunan.
Di antara mereka ada yang tergolong sangat miskin. Ada yang janda beranak 4. Ada juga yang usianya sudah sangat sepuh. Bahkan ada juga yang dinilai kewarasannya terganggu.
Dengan senang hati paman saya membeli yang di jajakannya. Ada pisang goreng, ubi goreng, bala-bala, bolu kukus, dan sayuran.
Bagi yang lain "mungkin" membeli makanan dari mereka itu agak jijik. Dari penampilannya yang jauh dari kata bersih mungkin bisa mengesankan itu. Saya tidak berani melanjutkan kata-kata berikutnya.
Namun, paman saya suka membelinya dan sesekali memborongnya dan membagi-bagikannya kepada yang ada di sekitar rumah. Saya sering juga mendapatkan bagian pisang goreng atau ubi goreng.
Tidak ada pertanyaan terlalu dalam dan tidak juga saya bertanya alasannya. Tapi suatu hari saya pernah bertanya kepada anaknya. Dan dia tidak memberikan jawaban yang pasti. Ia hanya mengatakan, "Tidak tahu ya, Bapak memang suka begitu ... "
Meski masih terbilang kecil, tapi saya bisa menyimpulkan bahwa paman saya melakukannya karena dorongan rasa kasihan yang mendalam terhadap nasib orang lain.
Paman saya telah mampu peduli dan menempatkan dirinya pada posisi mereka. Mungkin saya akan sedih kalau ada pada posisi mereka. Betapa hati akan sedih kalau dagangan tidak laku. Betapa sedih kalau si kaya yang diharapkan akan membeli dagangannya mengatakan "tidak".
Paman saya telah mampu merasakan kepedihan mereka. Dan salah satu akhlaq yang kini saya tiru adalah membahagiakan orang lain tapi membuatnya malu. Paman saya tetap membayarnya dengan harga normal.
Kebiasaan lainnya adalah membeli dengan uang dengan pecahan besar seperti 100.000 dan 50.000 atau 20.000. Setelah itu sambil berbisik ia mengatakan, "Uang kembaliannya buat bibi saja."
Satu lagi, kebiasaan paman yang kaya itu adalah suka memberikan hadiah kepada mereka. Apa saja yang bisa ia kasih. Seperti baju baru yang ia sebut "Baju bekas yang masuh bagus". Itu, semata-mata agar yang menerima tidak merasa malu.
Apakah paman kaya itu jatuh miskin karena berbuat demikian? Ternyata kerbaunya malah bertambah banyak. Bahkan sawah dan kebun semakin bertambah luas. Demikianlah suasana di pedesaan. Kekayaan selalu ternilai dari sapi, kerbau, atau sawahnya yang luas.