Di tempat duduk yang sama seperti di minggu yang lalu. Kembali mengingat sebuah kesuksesan dengan perasaan layu.
Tampak di hadapan sebuah piagam keikutsertaan sebuah kegiatan. Dalam perhelatan itu kami meraih juara. Senang rasanya bisa juara.
Namun ...
Rasa senang seperti direm. Terasa basi bukan karena tidak membahagiakan. Perasaan kurang gereget itu disebabkan kontribusi yang minim untuk sebuah nama juara.
Dihitung, ditambah, dikali, dan dibagi. Sadar bahwa hadir tidak menambah dan saat absen tidak ada pengaruh. Rasa malas memang membunuh karena menghadirkan penyesalan yang merampas semua harapan.
Saat tiba-tiba di puncak padahal belum memberikan yang terbaik ternyata hambar. Tidak ada cerita. Rupanya yang menarik adalah saat babak belur dalam perjuangan.
Indahnya memandang ke bawah saat ada di puncak gunung, atau memandang ke atas yang menampakkan wajah matahari lebih dekat, itu semua tidak berarti apa-apa tanpa adanya cerita mengharubiru saat mendaki.
Cerita sebuah perjuangan akan selalu abadi. Tidak begitu nikmat rasanya bila langsung ikut makan tanpa ikut bersusah payah mencari kayu bakar, menyiapkan perabotan, dan memasak dan menghidangkannya.
Bersama artinya peduli. Tidak bisa berjalan cepat seperti biasanya. Karena banyak yang berjalan lambat yang harus sabar ditunggu dan dibantu. Tidak bisa seenaknya pergi dan pulang karena ada perasaan yang mesti dijaga.