Shubuh tadi sangat spesial bagi saya. Apakah itu? Tidak lain adalah saya bisa dan dimampukan shalat Subuh berjamaah di mushalla. Lalu di mana spesialnya? Bukankah ini kebiasaan yang sejak dulu suka saya lakukan?
Memang aktivitas ini bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan saya dan tentu kebanyakan muslim pada umumnya. Memang seorang muslim yang laku-laki harus berjamaah di masjid. Kalau kaum laki-lakinya tidak ke masjid maka akan terjadi banyak keburukan yang akan terjadi.
![]() |
Untuk yang shalat shubuh berjamaah |
Saya lanjutkan dulu cerita saya ini. Saya merasa sangat spesial bisa melaksanaka shalat shubuh pada shubuh tadi. Pertama karena saya melaksanakannya dengan didahului serangkaian ilmu yang saya baca tentang keutamaannya.
Awalnya saya akan shalat di rumah saja. Dan saya ingat ada keterangan dalam gudang ilmu yang tertanam dalam hati saya bahwa seorang yang melaksanakan shalat di rumah sendirian dan dia adlah laki-laki dewasa yang balig dan berakal sementara kumandang adzan terdengar sangat nyaring dan masjid pun sngat dekat dari kediamannya maka bila ia tetap melaksanakannya di rumahnya maka nilai shalatnya tidak akan pernah sesempurna shalat berjamaah di masjid.
Teringat dengan itu saya langsung bangkit dan berangkat ke masjid. Ini point bagi saya. Ternyata ini buah pertama dari adanya ilmu. Dan ilmu yang ada harus diaplikasikan dengan kontinyu secara sungguh-sungguh dan melekat maka proses pendidikan inilah namanya. Mendidik diri sendiri adalah proses internalisasi yang dimulai dengan refleksi.
Sebenarnya sebelum berangkat ke mushlla untuk shalat shubuh otak saya pun membuat rasioanlisasi-rasionalisasi yang rumit, cepat, namun orsinil. Artinya sangat cepat otak ini bekerja dalam hitungan se-persekian detik saja sudah menghasilkan premis-premis dan konklusi-konklusi.
Saat itu saya berpikir. Orang muslim laki-laki harus shalat ke masjid berjamaah. Bila tidak maka kemungkinannya jadi berbahaya. Pertama mungkin saya menjadi non-muslim atau yang kedua ke-islaman saya diragukan. Kalau sudah begini maka diri ini menjadi berbahaya baik bagi diri saya sendiri maupun bagi orang lain. Setidak-tidaknya saat itu saya memilih jalan yang masih sulit untuk hidup. Karena shalat jumat adalah jalan termudah untuk sukses dalam hidup. Kalau shalat tpi tidak berjamaah saya yakin itu jlan hidup masih sulit.
Selanjutnya masih berkaitan dengan pernyataan Orang Muslim laki-laki harus shalat berjamaah ke masjid maka saya berpikir kalaupun keislaman saya ini masih ada dan jangan ragukan kecintaan saya kepada agama ini meskipun kelakuan saya sering menmpilkan yang sebaliknya, kalau pun ke-islaman saya masih melekt dlam diri saya, tapi rasionaliasi dalam otak saya jadinya berjalan ke pernyataan, bila shalat di rumah berarti saya adalah wanita. Karena yang tidak shalat ke masjid adalah wanita. Saya tidk ingin dikatakan suami shalehah gara-gara tidak shalat ke masjid.
Selanjutnya rasionalisasi di otak saya masih terus meluncur deras. Saya teringat bahwa saya ini sudah tahu ilmunya dalam artian saya ini balig dan berakal. Bila saya tetap memaksakan diri untuk shalat di rumah maka saya mengkhawatirkan kedewasaan saya ada yang meragukan seperti beberapa bulan ke belakang. Padahal saya adalah pria dewasa yang sudah beranak dan beristeri. Dan yang paling menakutkan saya takut otak waras dan pikiran yang cerdas ini akan dicabut keampuhannya hingga otak saya menjadi bebal dan dungu bagai keledai. Ya Allah ampuni saya . . . Apakah itu tidak mungkin terjadi? Mungkin sja bukan!? Bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin orang yang tadinya selalu menjadi juara kelas dan menempati rangking teratas secara tiba-tiba pikun dan ilmu pengetahuannya menjadi rontok dan hilang semua. Mungkin saja bukan!?
Selanjutnya ada rasionalisasi lagi yang bersumber dari ilmu yaitu suara adzan masih terdengar di telinga. Ini maksudnya walaupun suara adzan itu sayup-sayup namun masih dapat diketahui bahwa itu suara adzan maka tidak ada alasan apapun bagi siapapun untuk tidak datang ke masjid. Lalu apa yang terjadi kepada saya sementara suara adzan yang terdengar di telinga bukan sayup-sayup lagi tapi sangat nyaring karena memakai tools yang bagus. Maka kalau saya mengabaikannya berarti saya keterlaluan. Dan orang yang keterlluan adalah orang yang zhalim dalam bahasa agama atau sekurang-kurangnya Mu'tadin dan semua kata mu'tadin ujungnya selalu atsiim. Jadi zhalim dan mu'tadin itu sederajat dalam makna.
Saya masih khawatir dengan diri saya ini, saya takut sakit yang sedang saya rasakan akhir-akhir ini ditambah dengan penyakit budeg. Kalau sudah begini urusan dunia dan akhirat say bisa jadi akan semakin sulit. Bisa jadi gara-gara budeg saya jadi tidak bisa mendengar adzan akhirnya shalat terlewat. Bukankah itu diperbolehkan karena sesuatu hal?! Tapi saya khawatir bila nikmat mendengar saya dicabut gara-gara dosa saya pura-pura tidak mendengar adzan dan asyik dengan kelalaian maka itu adalah balasan setimpal berikutnya atas dosa-dosa yang dilakukan.
Saya takut bila bila saya tidak mau datang menyambut panggilannya akan dibalas sat saya memanggil nama Allah dalam doanya tapi Ia sama sekali tidak menghiraukan saya. Kalu sudah begitu kepada siapa lagi saya harus mengadu. Karena hanya Allah saja yang pantas untuk saya mengadu dan memohon pertolongan.
Point yang kedua mengapa shalat shubuh tadi sangat spesial adalah karena sayabegitu merasakan dan menghayati betapa nikmatnya menghadap. Selama ini selalu saja mengandalkan kemampuan diri yng tidak seberapa. Saya sakit dan sangat membutuhkan biaya saat ini namun saya hanya menggunakan otak dan pikiran saya yang terbatas dan akhirnya lelah sendiri. Namun setelah shubuh tadi Allah menganugerahkan sesuatu yang besar? Apakah uang yang banyak? Bukan. Tapi Allah memberikan yang lebih banyak dari itu, dunia dan seisinya.
Subhanakallahumma wabihamdika, Asyhadu Allaailaaha illaa Anta, Astaghfiruka wa-atuubu ilaika.