Berkunjung ke rumah sakit mengajarkanku banyak hal. Tentunya pelajaran pertama adalah sakit itu murah bila kita telaten merawat tubuh. Dan bila kita ceroboh dan tidak tekun menjaganya maka sehat akan mahal harganya. Kita akan tahu mahalnya harga kesehatan setelah ia pergi.
Kata bang Rhoma Irama; “kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga.” Ya memang begitulah keadaannya. Bila sedang sehat kita tidak pernah terbayang bahwa diri ini akan sakit. Bahkan berpikir sakit pun tidak. Kita seolah menyangka bahwa ksehatan aka nada abadi selamanya.
Kesadaran ini semakin bertambah saat melihat orang yang cacat. Ada orang yang tidak bisa melihat, ada yang tidak mendengar, ada yang tidak dianugerahi tangan dan kaki, dan sebagainya. Ya Allah …
Ungkapan Aristoteles yang ada pada judul di atas menambah getir lagi. Mengenai kajian filsafat dari ungkapan ini belum bisa saya jelaskan. Hanya saja saya mencoba menggali hikmah dari sisi pemahaman yang ada.
Ungkapan ini secara terjemah bebas bermakna “semua yang ada di alam ide berasal dari apa yang diterima oleh indera.”
Dai terjemah bebas ini saya mengambil hikmah bahwa semua yang dipikirkan oleh manusia berasal dari panca indera. Nah jadi kalau manusia berfikir suatu maianan maka ia harus pernah melihat mainan, atau endengar, atau meraba. Ini membuat saya heran karena dalam satu acara talk show di sebuah station televise ada orang buta yang mampu membuat game yang pakai bunyi, warna, bentuk, dan bergerak. Saya heran bagaimana ia bisa membuatnya sedangkan ia tidak pernah melihat warna, gerak dan bentuk dari lakon atau peran di game sebelumnya. Bagaiman otaknya bisa mencitrakan satu gerakan rumit yang ia buat menjadi teka-teki dalam game berikut lavel-level kesulitannya. Ya Allah ..
Kemudia saya perna membaca satu tokoh dunia yang bernama Hellen Keller yang luar biasa. Ya Allah bagaimanakah Engkau mengajar manusia yang seperti mereka … Ya Allah
Lalu bagaimanakah mereka sanggup mencerna konsep-konsep abstrak yang manusia sempurna panca inderanya pun sulit untuk memahaminya. Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka bisa menghiasi dunia dengan namanya. Ya Allah
Sampai di sini dulu … Ya Allah ighfir lana
Kata bang Rhoma Irama; “kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga.” Ya memang begitulah keadaannya. Bila sedang sehat kita tidak pernah terbayang bahwa diri ini akan sakit. Bahkan berpikir sakit pun tidak. Kita seolah menyangka bahwa ksehatan aka nada abadi selamanya.
Kesadaran ini semakin bertambah saat melihat orang yang cacat. Ada orang yang tidak bisa melihat, ada yang tidak mendengar, ada yang tidak dianugerahi tangan dan kaki, dan sebagainya. Ya Allah …
Ungkapan Aristoteles yang ada pada judul di atas menambah getir lagi. Mengenai kajian filsafat dari ungkapan ini belum bisa saya jelaskan. Hanya saja saya mencoba menggali hikmah dari sisi pemahaman yang ada.
Ungkapan ini secara terjemah bebas bermakna “semua yang ada di alam ide berasal dari apa yang diterima oleh indera.”
Dai terjemah bebas ini saya mengambil hikmah bahwa semua yang dipikirkan oleh manusia berasal dari panca indera. Nah jadi kalau manusia berfikir suatu maianan maka ia harus pernah melihat mainan, atau endengar, atau meraba. Ini membuat saya heran karena dalam satu acara talk show di sebuah station televise ada orang buta yang mampu membuat game yang pakai bunyi, warna, bentuk, dan bergerak. Saya heran bagaimana ia bisa membuatnya sedangkan ia tidak pernah melihat warna, gerak dan bentuk dari lakon atau peran di game sebelumnya. Bagaiman otaknya bisa mencitrakan satu gerakan rumit yang ia buat menjadi teka-teki dalam game berikut lavel-level kesulitannya. Ya Allah ..
Kemudia saya perna membaca satu tokoh dunia yang bernama Hellen Keller yang luar biasa. Ya Allah bagaimanakah Engkau mengajar manusia yang seperti mereka … Ya Allah
Lalu bagaimanakah mereka sanggup mencerna konsep-konsep abstrak yang manusia sempurna panca inderanya pun sulit untuk memahaminya. Bagaimana bisa orang-orang seperti mereka bisa menghiasi dunia dengan namanya. Ya Allah
Sampai di sini dulu … Ya Allah ighfir lana