-->

Fungsi Mata untuk Sebuah Intuisi

Betapa agungnya nikmatu Allah yang dinamai mata. Saya sendiri membaca sebuah buku karya Bapak Quraish Shihab tentang ini. Betapa bergetarnya batin saya ketika membacanya. Betapa tidak, saya dihadapkan pada satu kemanfaatan yang ajaib dan tdak terbantahkan.

"Mata indah bola pingpong" ... dari sekian orang yang bermata ternya citra keindahannya berbeda-beda. Ada orang yang mndapatkan hadiah sesama dengan pujian "sang pemilik mata indah di dunia". Itulah kenyataan dan Allah telah menakdirkan bahwa di antara umatnya ada orang yang diberikan karunia lebih dibanding yang lainnya. 

Namun bukan itu yang saya maksud dengan getaran dalam sanubari tadi. Saya bergetar karena juga ada rasa takut. Takut kenapa? Bukankah negeri ini aman? Ketahuilah selama anda dan saya masih dikatakan sebagai manausia maka rasa takut itu pasti ada. Justru menurut saya keberanian itu adalah muka lain dari ketakutan atau setidaknya rasa takutlah timbulnya KEBERANIAN.



Saya takut kalau mata ini yang penuh dengan keindahannya nanti akan mendapatkan rasa sakit. Saya pernah sakit mata. Dulu, saat masih kecil, sering sekali, bahkan hobi, bermain di pantai. Asyiknya berenang di pesisir, meskipun orang tua kalau tahu kami berenang akan menghalangi. Betapa indahnya dunia di saat itu. Kemahiran hidup, dan otot-otot tubuh mulai menampakkan wujudnya pada tubuh kami sang anak pantai.

Nah, ada cerita bahwa kalau anak-anak berenang di senja hari, di bawah sinar lembayung yang menyemburat dengan warna jingganya, maka subuh nanti saat bangun mata akan memiliki gangguan. Sudah banyak yang terkena penyakit mata ini, namun kami tetap suka dengan main-main di pinggir pantai.

Sakit mata di duniabegitu sengsaranya. Sakit. Bahkan kalau melihat mentari mata jadi tidak sanggup. Orang-orang di kampung kami menyebutnya sengserang. Saya tidak tahu mengapa diakaman seperti itu. Yang jelas sakit mata sangat tidak nyaman.

Mata ini kala melihat pasti diserap otak. Begitu yang kami dengar. Nanti otaklah yang mengambil keputusan. Ada yang seketika, refleks, ada juga yang membutuhkan perenungan. Saya mendengar seorang Caknur pernah mengatakan, saat ia melihat pohon bambu dan pisang, "Janganlah seperi pohon pisang, daunnya lebar hingga anaknya tidak kebagian sinar mentari. Jadilah bambu, ia rela telanjang asalkan anaknya memakai baju yang lengkap". Betapa indahnya intuisi dan kebijaksanaan ini. Meskipun saat mengungkapkannya Caknur tidak bermaksud menepikan manfaat makhluq-makhluk Tuhan itu.
LihatTutupKomentar