Saya memiliki sahabat, saudara angkat, yang sudah saya anggap sebagai kaka sendiri. Sayang sekali sampai tulisan ini saya tulis kami belum berjumpa. Ia dari Medan bermarga Lubis. Seorang adiknya pernah menjadi peserta audisi di sebuah acara pecarian bakat.
Saat itu, sekitar tahun 2005 ada acara syukur di ruma kerabatnya di Cimahi Bandung. Saya diajaknya untuk datang ke rumah. Dan, dan, dan, ternyata sykurannya memang sederhana. Tapi makanan yang dihidangkan sangat sangat banyak.
Di antara makanan yang enak-enak itu saya paling suka dengan Sup Sumsum Sapi. Rasanya memang rasa sup sapi tapi ini ada khasnya. Aroma yang tercium memang masih ada aroma sapi tapi yang menjadi menggugah selera bagi saa adalah seledri dan garlic. Rupanya ini dimasak dengan Bumbu Sup Sumsum Sapi yang tepat.
Pertama kali saya cicipi langsung mengena tepa di saraf kenikmatan yang ada pada diri saya ini. Mata rasanya terbuka. Apalagi sambal ijo yang sejak tadi menghijau menghiasai indahnya sajian langsung diceburkan ke dalam sup. Nikmat sekali. Mata rasanya terbuka aking nikmatnya dan kemudian mengatup menarik puncak rasa yang aa di lidah untuk mengatakan "amazing".
Munkin itu terlalu melankolis. Tapi karena bukan saya yang merasakan kenikmatan itu. Teman saya yang lain ternyata juga paling menyukai Sup itu. Hingga satu wadah besar itu habis.
Dan yang paling sensasional adalah saat mulut mulai menyeruput sumsum dari dalam tulang sapi itu. Langsung sumsum sapinya loncat dan hinggap di lidah yang siap merasakan kelezatannya hingga sukses meluncur dan melumeri lidah dengan merata hingga mata kembali mere melek.
Inginnya nambah lagi. Namun saya agak takut karena pernah mengalami hal yang tidak menyenangkan setelah makan sup sapi. Dulu saya pernah merasakan pusing setelah makan terlalu banyak sup sup berdaging seperti itu. Alhasil, meskipun masing ingin merasaan kenikmatan Sup Sapi Medan itu saya harus menahan diri meskipun tuan rumah bilang "ayo ... lanjut."