Tertegun, saat aku melihat sesosok pemuda yang beranjak dewasa. Kumis tipis tampak dicukur rapih di atas bibir dengan senyuman manis terkembang. Terlihat rona wajah malu saat dia mengulurkan tangan dan mencium tanganku.
Aku mengenalnya. Si anak nakal yang pernah membuat banyak orang kesal bahkan menangis. Ada kelembutan hati dan keikhlasan saat ia menyapa dengan sapaan terbaik, "Assalamu'alaikum warahmatullah, Pak ...."
"Kamu Sanusi, kan ... " Itulah pertanyaanku kepadanya yang wajahnya hampir-hampir berbeda dengan tiga tahun yang lalu saat ia masih berada dalam lingkungan pendidikan tempatku mengajar. Dulu sangat terlihat ada kenakalan dalam matanya. Kini sama sekali itu semua hilang berganti kesyahduan.
"Kamu Kok ada di sini." Kataku.
"Ya Pak, saya sudah lima bulan berada di sini."
"Saya mengenalmu ... "
"Tentu saja Pak, semuanya pasti mengenal saya meskipun saya tidak mau dikenang seperti itu lagi."
. . . . . .
"Saya sedanga belajar memperbaiki diri Pak ..."
"Saya sengaja pergi ke Jawa Timur dan sengaja seperti membuang diri. Tidak ada yang tahu seorang pun termasuk keluarga saya, kecuali Bapak. Mungkin Allah sengaja mempertemukan Bapak dengan saya di tempat yang jauh ini."
. . . .
"Saya sudah melihat perubahan dirimu." Begitu kataku.
"Saya sangat bahagia melihatmu bisa seperti ini."
"Saya mohon Bapak mendoakan saya agar terus seperti ini."
Begitulah percakapanku dengan salah satu ank didikku dahulu yang kini telah menjadi orang baik.